CINTA ITU BUTA? Oleh: Sinuyu Waruwu
Dalam artikel ini saya menggunakan kata cinta dan kasih dengan makna yang sama, sebagai perasaan mendalam terhadap orang lain. Saya menjelaskan ini dari awal karena beberapa orang memahami cinta sebatas hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan (Kasih Eros atau cinta yang didorong pada ketertarikan seksual) sedangkan kasih bisa digunakan kepada siapa pun sehingga dimaknai dalam hal positif. Walaupun berbeda dalam mendifinisikan cinta tapi izinkan saya dalam tulisan ini menyamakan pemaknaan kita supaya pembaca dapat menikmati ulasan yang saya berikan.
Apakah "Cinta itu Harus Buta?"
Pandangan umum orang-orang tentang cinta sangat beragam, salah satunya cinta itu buta. Cinta buta merupakan penilaian seseorang terhadap orang yang dicintainya tanpa memikirkan kelemahan, kekurangan dan kesalahannya. Cinta buta digambarkan sebagai kekuatan dan emosional. Memprioritaskan emosional daripada logika, menyimpulkan perasaan tanpa pertimbagan rasional. Dampak negatif dari cinta buta adalah terdapat kesulitan dalam mengatasi konflik dan menutupi kesalahan dengan perasaan kasih. Biasanya berpengaruh juga terhadap kesiapan berakhirnya hubungan.
Dengan melihat konsep dari cinta buta maka kita dapat menemukan benang merah yang menjadi titik terang. Cinta yang dibangun berdasarkan perasaan dan emosional semata dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang irasional dan fatal. Oleh karena itu pemahaman ini sebenarnya kurang tepat sebab cinta itu seharusnya melek. Cinta yang sehat dan dewasa mampu melihat kelemahan dan kesalahan orang yang dicintai secara objektif. Pengamatan ini membantu seseorang untuk memilih menerima atau menolak dengan segala konsekuensi. Hubungan yang sehat mengutamakan kejujuran, berbicara secara terbuka tentang kekurangan pasangan. Keterbukaan merupakan langkah pembenahan relasi kearah yang lebih baik. Akan tetapi hubungan yang selalu tertutup dan memendam kesalahan membawa dampak buruk bagi sebuah hubungan.
Tidak ada seorang pun yang sempurna di dunia ini, kesadaran itu menuntun setiap pasangan kekasih memperbaiki diri dengan menegur dan berbicara secara empat mata akan sikap yang perlu dibenahi dan apa saja yang perlu dipertahankan dan dikembangkan.
1. Cinta itu keterlibatan
Dalam tatanan imajiner, manusia selalu melihat dirinya dari kacamata orang lain (Reza A.A. Watimena, 2011). Orang lain menjadi cerminan dan pantulan dirinya. Pemahaman Watimena memberikan kita angin segar bahwa manusia hidup berdasarkan pengamatan dan penilaian terhadap orang lain. Zizek seorang filsuf kontemporer mengatakan "aku menjadi aku karena kamu" (Zizek, 1989). Kehadiran seorang dipengaruhi oleh orang lain, menunjukkan bahwa manusia itu makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri tanpa orang lain. Pacaran dan level hubungan paling tinggi yaitu pernikahan merupakan bukti dari keterbatasan manusia berjalan sendiri menghadapi dunia yang penuh gejolak dan problema.
2. Cinta itu melampaui emosi dan perasaan
Cinta seringkali diidentikkan dengan emosi dan perasaan yang kuat. Namun, apakah cinta itu hanya terbatas pada emosi dan perasaan saja? Atau lebih dari itu? Cinta sejati bukanlah tentang emosi dan perasaan yang kuat melainkan tentang komitmen, pengorbanan dan dedikasi.
Cinta itu tentang memilih untuk menyayangi bahkan ketika emosi dan perasaan tidak lagi ada. Memahami dan menerima kekurangan dan kesalahan karena cinta bukan berbicara kesempurnaan tapi keberhargaan. Cinta melampaui emosi dan perasaan sebab kasih mengembangkan keintiman dan berkelanjutan. Empati dan pengertian sebagai roda penggerak meskipun terdapat banyak rintangan.
3. Cinta itu merupakan aksi dan reaksi berhubungan dengan orang lain
Hubungan diantara dua insan harus timbal balik, di mana keduanya sama-sama memberikan aksi dan reaksi, bukan salah satu diam dan yang satunya memberikan perhatian. Hubungan dikembangkan oleh dua orang bukan satu orang. Jika hanya satu orang yang bergerak maka terjadi ketimpangan. Selebihnya masalah yang berkelanjutan karena yang memberikan aksi hanya datang dari satu sisi sehingga tidak ada efek balik, dan akhirnya berujung pada sakit hati dan merasa dirugikan dalam menjalin hubungan.
4. Cinta itu buta dalam batasan dan terbatas untuk membuta
Bagian keempat ini menjadi poin penting dalam seluruh uraian saya tentang cinta itu buta. Sebenarnya cinta itu tidak buta melainkan mengcover kelemahan dan kekurangan dalam bingkai pemakluman dengan menekan ketidaksadaran. Tidak heran apabila cinta pada level pacaran sangat banyak perubahan ketika terjadi peralihan pada level pernikahan, cover yang dulu ditutup rapat secara perlahan terbuka, pemakluman berubah menjadi pertentangan.
Pemakluman pada masa pacaran yang sudah tertahan dalam kurun waktu panjang meledak pada fase pernikahan. Pada masa pacaran itu ditandai dengan kesenangan dan kebahagiaan. Kesenangan ini saya sebut sebagai opium cinta yang menawarkan mimpi indah dan keharmonisan. Efek "opium cinta" bermutasi jadi pertikaian. Opium cinta memberikan ketenangan dan kenyamanan, jika asupan itu terkikis karena waktu maka akibatnya adalah kesalahpahaman. Makanya pada bulan ketiga pada masa pacaran sering terjadi masalah dalam sebuah hubungan, dan apabila itu bisa dilewati maka pasangan tersebut sudah berpijak pada langkah awal dalam pengenalan. Sebenarnya pengenalan itu bertumbuh karena pertikaian. Orang yang membuat kita paling tersakiti adalah orang terdekat bukan terjauh.
Jadi, cinta itu buta dalam batasan ketidakmampuan melihat kesalahan dan kekurangan meskipun itu sudah di depan mata. Namun, cinta buta itu terbatas dalam memahami keterbatasan dan menerima dengan utuh kekurangan pasangan. Sebaiknya cinta itu harus melek untuk tetap terjaga melihat setiap sisi buruk dan kelemahan pasangan supaya kondisi tersebut menjadi refleksi dalam diri sendiri untuk mempertanyakan dalam hati "apakah saya bisa hidup dengan orang seperti ini atau tidak?"
Pada fase pacaran cinta itu harus melek bukan buta sedangkan pada tahap pernikahan cinta itu harus buta dan bukan sekadar buta tapi kebutaan selamanya agar setiap kegagalan dalam diri pasangan bisa kita uraikan dalam diri kita sebagai sebuah berkah yang harus disyukuri. Sebab sejatinya cinta itu memberi bukan menerima, memahami bukan dipahami. Jadi berhati-hatilah jika pasangan anda ingin dimengerti dan dipahami tanpa harus memberikan perlakuan yang sama kepada anda.
Apa Kata Alkitab Tentang Cinta dan Cinta "Buta"?
Allah sangat jujur dengan cintanya kepada manusia dengan memberikan Yesus sebagai perantara dan jalan keselamatan bagi orang berdosa (bnd. Yohanes 3:16), tapi disisi lain Allah akan menghukum setiap orang berdosa karena Allah itu kudus maka segala bentuk perbuatan kenajisan manusia bertentangan dengan Allah. Sebab upah dosa ialah maut (Roma 6:23). Allah sendiri memiliki timbangan kudus untuk menakar kasihnya kepada manusia dengan keadilan. Allah mengasihi semua manusia tapi kasih yang membawa pada kehidupan kekal hanya berlaku bagi siapa yang menerima dan beriman kepada Tuhan Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat.
Kisah-kisah tokoh Alkitab juga memberikan udara segar bagi kita tentang cinta tu sendiri. Seperti tulisan Raja Salomo dalam Kidung Agung 8:6b TB “Karena Cint aitu kuat seperti maut kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api seperti nyala api Tuhan” bahkan ILT 3 menerjemahkan ayat ini dengan pengertian yang lain yaitu kecemburuan itu kejam seperti dunia orang mati. Salomo mengungkapkan cinta kepada kekasihnya dengan gambaran materai. Kita tahu bahwa materai berfungsi sebagai legalitas atau memperkuat sebuah perjanjian, artinya Salomo menginginkan tempat yang sah pada hati kekasihnya. Keinginan Salomo merupakan kerinduan terdalam dan diatas segala-galanya dari sebuah hubungan dan pengenalan. Keberadaan Salomo sebagai materai pada hati kekasihnya merupakan ungkapan suara terdalam jiwa untuk selalu Bersama.
Selain kisah cinta Salomo ada begitu banyak ayat Alkitab yang menginformasikan kepada kita tentang makna dari cinta. Dari kisah Adam dan Hawa kita belajar bahwa cinta itu bukan mencari kesalahan dan menemukan pembenaran (Kejadian 3:12-13). Dari kisah Amnon dan Tamar kita belajar bahwa cinta itu bukan hanya digerakkan oleh kemolekan dan emosional melainkan rasionalitas (2Samuel 3).
Dari kisah Simson dan Delilah kita belajar, bahwa cinta itu bukan untuk dijadikan bahan pertarungan dan menunjukkan eksistensi diri (Hakim-hakim 14:3)
Dari kisah Yusuf dan Maria kita belajar tanggung jawab dan komitmen dalam sebuah hubungan
Kesimpulan
Cinta buta adalah konsep yang menggambarkan cinta sebagai kekuatan emosional yang memprioritaskan perasaan daripada logika. Cinta buta membuat seseorang tidak mempertimbangkan kelemahan, kekurangan, dan kesalahan orang yang dicintainya. Cinta buta bukanlah satu-satunya cara untuk mencintai. Cinta yang seimbang antara emosi dan logika dapat membantu seseorang untuk mencintai dengan lebih bijak dan dewasa.
Dalam keseluruhan, artikel ini mengajak pembaca untuk mempertimbangkan konsep cinta buta dan bagaimana cinta dapat diwujudkan dalam cara yang lebih seimbang dan dewasa.
Pada akhirnya cinta itu sebagai gambaran nyata kasih Tuhan kepada manusia yang kemudian diteruskan manusia kepada sesamanya. Sama seperti Tuham yang terlebih dahulu mengasihi kita tanpa memandang latar belang dan dosa yang kita perbuat. Menerima kita dengan kasih yang sempurna walaupun Tuhan tahu kita penuh kelemahan dan tidak layak dihadapan-Nya. Namun, kasih itu membuat kita berarti dan pantas untuk dicintai.
Sumber
1. Reza A.A. Watimena, Filsafat Kata. Jakarta: PT Evolitera, 2011.
2. Sinuyu Waruwu, True To: Melupakan Mantan Dengan Bahagia. Boyolali: Nimetler Mediatama, 2023.
3. LAI TB
4. LAI TB2
0 Comments